MUSYARAKAH

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. LATAR BELAKANG MASALAH

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak bulan Juli 1997 dan dirasakan dampaknya  sampai sekarang,  mendorong para penentu kebijakan dibidang ekonomi  mengeluarkan kebijakan  ekonomi  untuk  pemulihan  ekonomi nasional. Salah  satu  kebijakan yang  dikeluarkan oleh Pemerintah sebagai terapi untuk memulihkan   kembali ekonomi nasional adalah dengan dikeluarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, tentang  Perbankan, yang disahkan pada tanggal 10 Nopember 1998 dan dicatat dalam Lembaran Negara  Nomor 182 Tahun 1998.

Perubahan-perubahan  pada  Undang-undang  Nomor 10 Tahun 1998  atas Undang-undang  Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, dominan berkaitan dengan  dua  aspek, yaitu:  aspek  semakin  kuatnya  kewenangan  Bank Indonesia dan  aspek  akomodasinya  sistem  berbankan  Islam  dalam  sistem  perbankan nasional[1]. Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, tidak hanya  mengenal  dual  banking  system,  tetapi  juga  lebih  mempertegas  bahwa keberadaan Bank dengan prinsip syariah sejajar dengan Bank konvesional dengan sistem  bunga. Hal ini  disebutkan dalam pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang  menyebutkan  bahwa: Bank Umum adalah  bank yang  melaksanakan  kegiatan  usaha  secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip  syariah  yang  dalam  kegiatannya  memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan pasal 1 ayat (3), menyebutkan bahwa Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan  kegiatan usaha konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu  lintas  pembayaran[2].  Dari  ketentuan  normatif  ini  tampak  jelas  kesejajaran antara  Bank  konvesional  dengan  sistem  bunga  dan  bank  syariah  dengan  prinsip bagi hasil (profit sharing) dalam tata hukum perbankan nasional.

Dalam Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah telah memberikan gambaran bahwa  kebutuhan  masyarakat  untuk  meningkatkan kesejahteraan dan usaha terkadang memerlukan dana dari pihak lain, antara lain melalui  pembiayaan  musyarakah,  yaitu  pembiayaan  berdasarkan akad  kerjasama  antara  dua  pihak  atau lebih untuk suatu  usaha tertentu,  dimana  masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko  akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Bahwa pembiayaan musyarakah yang memiliki keunggulan dalam kebersamaan dan   keadilan, baik dalam berbagi keuntungan maupun resiko kerugian, kini telah  dilakukan  oleh  lembaga keuangan syari’ah (LKS). Dan bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang musyarakah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.

Kembali lagi ke Ide dasar sistem perbankan Islam, sebenarnya dapat dikemukakan dengan sederhana. Operasi institusi keuangan Islam terutama  berdasarkan  pada prinsip PLS (porfit-and-loss-sharing—bagi-untung-dan-rugi). Prinsip bagi hasil ini dalam keuangan Islam sangat dianjurkan dan merupakan solusi yang pantas dan relefan untuk  mengatasi  masalah  alokasi  dana  yang  terbatas,  baik  yang  berupa  dana pinjaman  atau  tabungan  dengan  maksud  supaya  pengelolaan  dan  pembiayaan bisnis secara efektif dapat tercapai. Bank Islam (syariah pen.) tidak membebankan bunga,  melainkan  mengajak  partisipasi  dalam  bidang  usaha  yang  didanai.  Para deposan  juga  sama-sama  mendapat  bagian  dari  keuntungan  bank  sesuai  dengan rasio yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian  ada kemitraan  antara bank Islam (syariah pen.) dan para deposan di satu pihak, dan antara bank para nasabah investasi—sebagai pengelola sumber daya para deposan dalam berbagai usaha produktif—dipihak lain[3].

Bank syariah dengan sistem bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) memiliki konsep yang sangat tepat di tengah kondisi ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat. Konsep kebersamaan dalam menghadapi risiko dan memperoleh keuntungan,  serta  adanya  keadilan  dalam  berusaha  menjadi  suatu  potensi  yang sangat strategis bagi perkembangan bank syariah di masa yang akan datang. Hal ini  disebabkan  oleh  sebagian  besar  atau  mayoritas  penduduk  Indonesia  adalah beragama  Islam  (Muslim),  tantangan  ini  sekaligus  menjadi  prospek  yang  cukup cerah  untuk  pengembangan  bank  syariah  di  masyarakat.  Di  samping  itu  bank syariah  dengan  sistem  bagi  basil  (profit  and  loss  sharing)  lebih  mengutamakan stabilitas di atas rentabilitas, sedangkan bank konvensional dengan sistem bunga mempunyai  kelemahan  utama  yaitu  memiliki  sifat  inflatoir  dan  cenderung diskriminatif [4].

Bank syariah merupakan suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai organisasi  perantara  antara  yang  berkelebihan  dana  dan  yang  kekurangan  dana yang dalam menjalankan aktivitasnya harus sesuai dengan yang telah dicantumkan dalam Fatwa Dewan Syari’ah Nasional di atas yaitu prinsip-prinsip Islam.

Pembiayaan   yang   dilakukan   oleh   perbankan   syariah   dengan   mitra bisnisnya antara lain dengan menggunakan prinsip musyarakah/syirkah yang bertujuan untuk kemajuan, membantu dan  mengembangkan  pelayanan  produk-produknya  berdasarkan  prinsip-prinsip Islam.  Perbankan  syariah  dalam  melakukan  kegiatan  pembiayaan  dengan  mitra bisnisnya    menggunakan prinsip bagi hasil (profit    sharing)[5]. Dengan menggunakan prinsip bagi hasil (profit and loss sharing) akan terjadi kerja sama dan kebersamaan dalam menaggung resiko usaha dan berbagi hasil usaha antara pemilik dana (shabiul mal) dengan pihak bank sebagai pengelola (mudharib).[6]

Musyarakah  adalah  model  profit-sharing  (bagi hasil) yang lebih disukai dalam hukum Islam.  Musyarakah,  yang  dideskripsikan  oleh  International Islamic  Bank  For  Invesment  and  Development,  sebagai  ”metode  pembiayaan  terbaik   dalam bank Islam, adalah suatu metode  yang didasarkan pada keikutsertaan bank dan pencari pembiayaan (mitra potensial) untuk suatu proyek tertentu, dan akhirnya,   keikutsertaan   dalam   menghasilkan laba  atau rugi. Musyarakah dalam  perbankan  Islam  telah  dipahami  sebagai  suatu mekanisme yang dapat  menyatukan  kerja  dan  modal  untuk  produksi  barang  dan jasa  yang bermanfaat untuk masyarakat.[7]

Dari  fakta  berdasarkan  sebagian data yang diungkapkan di atas,  dapat  diambil pemahaman bahwa dalam menjalankan bisnisnya perbankan syariah lebih banyak menggunakan  sistem  bagi hasil  (profit  and  sharing),  seperti  musyarakah.

  1. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan  latar belakang  masalah yang telah diurikan di  atas,  ternyata bank  syariah  berfungsi  tidak  hanya  sebagai  intermediasi  (intermediary) pihak-pihak yang kelebihan dana (surplus of funds) dan pihak yang memerlukan dana (luck of funds), tetapi juga berfungsi sebagai agent of development, yaitu sebagai alat pemerintah  dalam  membangun  perekonomian  bangsa  melalui  pembiayaan semua  jenis usaha pembangunan, yaitu sebagai perantara keuangan (finncial intermediary)  yang  memberikan  kontribusi  terhadap  pendapatan  negara.

Maka dalam makalah ini akan kami sedikit utarakan dalam masalah sebagai berikut:

  1. Konsepsi Dasar Pembiayaan Musyarakah;
  2. Jenis-Jenis Al-Musyarakah;
  3. Aplikasi dalam perbankan;
  4. Manfaat al-musyarakah.

TUJUAN PEMBAHASAN

    1. Apa Konsepsi Dasar Pembiayaan al-Musyarakah;
    2. Apa Jenis-Jenis Al-Musyarakah;
    3. Apa Aplikasi dalam perbankan;
    4. Apa Manfaat al-musyarakah.
    5. Bagaimana Akuntansi al-Musyarakah.

 

  1. PENUTUP
    1. Kesimpulan
    2. Pesan

 

 BAB II PEMBAHASAN

  1. KONSEPSI DASAR PEMBIAYAAN MUSYARAKAH
  2. 1.   Istilah dan Pengertian Musyarakah

Dilarangnya praktik riba dalam bidang muamalat Perbankan Islam oleh  ketentuan  Al-Qur’an  dan  As-Sunnah,  maka  dalam  ajaran  Islam diberikan  metode lain, yaitu  melalui musyarakah.  Kata musyarakah lughotan bersumber  dari  akar  kata Fiil madhi yaitu Syarika yang mempunyai banyak arti diantaranya; menjadi sekutunya, temannya, persekutuan, perseroan, perkumpulan, perserikatan,dan juga  perhimpunan[8], yang dalam  Al-Qur’an, disebutkan sebanyak lebih kurang 170 kali, walau tak satupun dari ayat ini yang menggunakan istilah musyarakah persis dengan arti kata kemitraaan dalam suatu kongsi   bisinis[9].   Istilah lain yang  digunakan   untuk musyarakah adalah syarikah atau syirkah.

Dalam bahasa Inggris musyarakah  diterjemahkan dengan istilah partnership. Sedangkan oleh lembaga-lembaga keuangan Islam menerjemahkannya dengan istilah participation financing atau partnership, project financing participation[10]. Dalam bahasa Indonesia dapat  diterjemahkan dengan   kemitraan,   persekutuan   atau perkongsian.[11] Musyarakah   atau   syirkah      dari   segi   bahasa   berarti percampuran[12]. Dalam hal ini mencampur satu modal dengan modal yang lain  sehingga  tidak dapat dipisahkan  satu  sama  lain.  Sedangkan  menurut syara’,  syrikah  (perseroan) adalah transaksi antara dua orang atau lebih, yang  dua-duanya  sepakat  untuk  melakukan  kerja  yang  bersifat  finansial dengan tujuan mencari keuntungan[13]. Atau AlMusyarakah yaitu akad kerja sama antara du pihak atau lebih untuk suatu usahatertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[14]

 

Para  fuquha  mendifinisikannya  sebagai  akad  antara  orang-orang yang  berserikat  dalam  hal  modal  dan  keuntungan[15]. Secara  teknis  dalam aplikasi perbankan, musyarakah adalah kerja sama antara pemilik modal atau  bank  dengan  pedagang/pengelola,  dimana  masing-masing  pihak memberikan   konstribusi   modal   dengan   keuntungan   dibagi   menurut kesepakatan dimuka dan apabila rugi ditanggung oleh kedua belah pihak yang  bersepakat[16]. Sehingga  musyarakah  dalam  perbankan  Islam  telah dipahami  sebagai  suatu  mekanisme  yang  dapat  menyatukan  kerja  dan modal untuk produksi barang dan jasa yang bermanfaat untuk masyarakat. Musyarakah dapat digunakan dalam setiap kegiatan yang dijalankan untuk tujuan  menghasilkan  laba.  Bagi  bank-bank  Islam,  musyarakah  dapat digunakan untuk tujuan dagang murni yang lazim bersifat jangka pendek, atau untuk keikutsertaan dalam investasi proyek-proyek jangka menengah hingga jangka panjang[17].

Sutan Remy Sjahdeini, mengatakan bila musyarakah atau syirkah dilakukan sebagai transaksi Bank atau oleh lembaga pembiayaan tidak lain merupakan  usaha  patungan  (joint  venture)  dengan  para  mitranya  terdiri atas  bank  atau  lembaga  pembiayaan  dan  pengusaha  (nasabah).  Sebagai suatu  usaha  patungan,  maka  dapat  diberlakukan  semua  ketentuan  yang biasanya  berlaku  bagi  perjanjian  usaha  patungan  di  antara  para  mitra usaha.   Dapat   pula   musyarakah   ini   dilakukan   sebagai   suatu   modal ventura [18].

Secara  sederhana  musyarakah  dapat  diartikan  akad  kerja  sama usaha  patungan  antara  2  (dua)  pihak  atau  lebih  pemilik  modal  untuk membiayai  suatu  jenis  usaha  yang  halal  dan  produktif.  Pendapatan  atau keuntungan  dibagi  sesuai  dengan  nisbah  yang  telah  disepakati  bersama pada  saat  membuat  akadnya.  Bank  disini  melakukan  usaha  pembiayaan dengan   cara   menyertakan modal ke dalam suatu perusahaan  yang menerima   pembiayaannya.   Bank   bersama   mitra   usaha   mengadakan kesepakatan  tentang  pembagian  keuntungan  dari  usaha  yang  dibiayai. Porsi pembagian keuntungan terebut tidak harus sebanding dengan pangsa pembiayaan  masing-masing,  tetapi  atas  dasar  perjanjian  kedua  belah pihak. Apabila terjadi kerugian, maka kerugian tersebut akan ditanggung bersama sesuai dengan pangsa pembiayaan masing-masing. Dalam hal ini bank dapat ikut serta mengelola usaha tersebut[19].

Jadi  pemahaman kami atau dapat  dikatakan  bahwa  musyarakah  atau  syirkah  adalah keikutsertaaan  dua  orang  atau  lebih  dalam  suatu  usaha  tertentu  dengan sejumlah  modal  yang  telah  ditetapkan  berdasarkan  perjanjian  untuk bersama-sama  menjalankan  suatu  usaha  dimana  pembagian  keuntungan dan  kerugian  dilakukan  menurut  bagian  yang  ditentukan  sesuai  jumlah kontribusi modal dan kesepakatan.

 

  1. 2.   Landasan Hukum Musyarakah

Adapun Landasan  dasar al-musyarakah, yaitu:

  1. Al-Qur’an :
    1. QS. An-Nisa (4):12 :

فَإِن كَانُوَاْ أَكْثَرَ مِن ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاء

”…. Jikalau saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu ….”.[20]

  1. QS.  As-Sad  (38): 24 :

وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ

 “Dan  sesungguhnya  kebanyakan  dari orang orang yang bersyarikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada    sebagian    lain    kecuali    orang    yang    beriman    dan mengerjakan amal shaleh”. [21]

Kedua ayat di atas menunjukkan perkenan dan pengakuan Allah Shubhanahu Wa Ta’ala, akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam Surat an-Nisaa’ ayat 12 perkonsian terjadi secara otomatis (jabr) karena waris, sedangkan dalam Surat As-Sad ayat 24 terjadi atas dasar akad (ikhtiyari).[22]

  1. QS.  al-Ma’idah (5): 1:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ ……………

“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”[23]

  1. Al-Hadist :
    1. Dalam kitab Sunan Abu Dawud bab. Syirkah

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْمِصِّيصِىُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الزِّبْرِقَانِ عَنْ أَبِى حَيَّانَ التَّيْمِىِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ قَالَ « إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا ».

“bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : ”Sesungguhnya Allah SWT telah berfirman : aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya, seandainya berkhianat maka Saya keluar dari mereka”. (HR. Abu Dawud No. 3385).[24]

 

Hadist Qudsi tersebut menunjukkan kecintaan Alloh kepada hamba-hamba-Nya yang melakukan perkongsian selama saling menjunjung tinggi amanat kebersamaan dan menjahui pengkhianatan.

  1. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوِ أَحَلَّ حَرَامًا وَإِنَّ الْمُسْلِمِينَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً.

““Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang  haram;  dan  kaum  muslimin  terikat  dengan  syarat-syarat mereka  kecuali  syarat  yang  mengharamkan  yang  halal  atau menghalalkan yang haram.” [25]

  1. ”Rahmat Allah SWT tercurahkan atas 2 (dua) pihak yang sedang berkongsi    selama  mereka  tidak  melakukan  pengkhianatan, manakala berkhianat, maka bisnisnya akan tercela dan keberkatan pun akan sirna dari padanya”. (HR. Abu Daud).
  2. Dari  Abu  Hurairah,  Rasulullah  SAW,  berkata  :  “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman : ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang   bersyarikat   selama   salah   satunya   tidak   mengkhianati lainnya”.
  3. Taqrir  Nabi terhadap kegiatan musyarakah yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu.
  4. Ijma’

Ibn Qudamah telah berkata :”Kaum Muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi  musyarakah  secara  global  walaupun  terdapat  perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya”.[26]

  1. Kaidah fiqh:

الاصل فى المعاملات الاباحة الا ان يدل دليل على تحريمها

“Pada  dasarnya,  semua  bentuk  muamalah  boleh  dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

  1. 3.   Rukun dan Syarat Musyarakah

Menurut  syara’syirkah  atau  musyarakah  adalah  transaksi  antara dua  orang  atau  lebih,  yang  dua-duanya  sepakat  untuk  melakukan  kerja yang  bersifat  finasial  dengan  tujuan  mencari  keuntungan.  Transaksi perseroan  tersebut  mengaharuskan  adanya  ijab  dan  qabul  sekaligus, sebagaimana layaknya transaksi yang lain. Bentuk ijab-nya adalah :”Aku mengadakan perseroan dengan anda dalam masalah ini”, kemudian yang lain  menjawab  (qabul:”Aku  terima”.  Akan  tetapi,  tidak  harus  selalu memakai  ungkapan  di  atas,  yang  penting  maknanya  sama.  Artinya, didalam  menyatakan  ijab  dan  qabul  tersebut  harus  ada  makna  yang menunjukakan, bahwa salah satu di antara mereka mengajak kepada yang lain—baik  secara  lisan  ataupun  tulisan—untuk  mengadakan  kerja  sama (perseroan)   dalam   suatu   masalah.   Kemudian   yang   lain   menerima perseroan tersebut. Oleh karena itu, adanya kesepakatan untuk melakukan perseroan   saja,   masih   dinilai   belum   cukup;   termasuk   kesepakatan memberikan modal untuk perseroan saja, juga masih dinilai belum cukup, tetapi  harus  mengandung  makna  bekerja  sama  (melakukan  perseroan) dalam suatu urusan. Syarat sahnya dan tidaknya transaksi perseroan amat tergantung kepada sesuatu yang ditransaksikan, yaitu harus sesuatu yang bisa  dikelola,  dapat  diwakilkan  sehingga  sesuatu  yang  bisa  dikelola tersebut sama-sama mengikat para pihak[27].

Menurut Imam Hanafi hanya ada dua rukun dan syarat musyarakah, yaitu ijab dan qabul. Tetapi menurut para ulama dan praktisi perbankan menjabarkan lebih lanjut rukun musyarakah menjadi[28]:

  1. Ucapan (sigot), penawaran dan penerimaan (ijab dan qabul);

Tidak ada bentuk khusus dari kontrak musyarakah. Ia dapat berbentuk pengucapan  yang  menunjukan  tujuan.  Berakad  dianggap  sah  jika diucapkan  secara  verbal.  Kontrak  musyarakah  dicatat  dalam  tulisan dan disaksikan.

  1. Para pihak yang berkontrak; dan

Pihak  yang  berkontrak  harus  berkompeten  dalam  memberikan  atau diberikan  kekuasaan  perwakilan,  karena  dalam  musyarakah  mitra kerja  juga  berarti  mewakilkan  harta  untuk  diusahakan  sama  halnya dengan mudharabah.

  1. Objek kesepakatan : modal dan kerja.
    1. Modal/Dana
      1. Modal  yang  diberikan  harus  tunai,  emas,  perak,  atau  nilainya sama. Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama dalam hal ini.
      2. Modal  dapat  terdiri  dari  asset  perdagangan,  seperti  barang-barang,  property,  perlengkapan  dan  sebagainya.  Dapat  juga dalam bentuk hak yang tidak terlihat, seperti lisensi, hak paten dan   sebagainya.   Dibolehkan   oleh   bebarapa   ulama   modal sebuah  perusahaan  dapat  disumbangkan  dalam  bentuk  jenis-jenis  asset  ini  asalkan  barang-barang  itu  dinalai  dengan  tunai menurut yang disepakati para mitranya.
      3. Mazhab Syafii dan Maliki mensyaratkan dana yang disediakan oleh   para   pihak   itu   harus   dicampur   supaya   tidak   ada keistimewaan diberikan kepada bagian salah satu dari mereka. Tetapi  mazhab  Hanafi  tidak  mencantumkan  syarat  ini  jika modal itu dalam bentuk tunai, sedangkan bazhab Hanbali tidak mensyaratkan percampuran dana.
      4. Kerja

Partisipasi para mitra dalam pekerjaan musyarakah adalah sebuah hukum  dasar  dan  tidak  dibolehkan  bagi  salah  satu  dari  mereka untuk   mencantumkan   ketidak-ikutsertaan   dari   mitra   lainnya. Tetapi  kesamaan  kerja  bukanlah  merupakan  syarat.  Dibolehkan seorang mitra melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan  dalam  hal  ini  ia  boleh  mensyaratkan  bagian  keuntungan tambahan bagi dirinya.

Muhamad,  menjelaskan  bahwa  musyarakah  akan  menjadi  akad apabila telah terpenuhi syarat dan rukun-rukunya, yaitu:

  1. Melafazkan kata-kata yang menunjukan izin yang akan mengendalikan harta.
  2. Anggota syarikat percaya mempercayai.
  3. Mencampurkan harta yang akan diserikatkan.

Adapun rukun syahnya melakukan syirkah/musyarakah, adalah :

  1. Macam harta modal.
  2. Nisbah bagi hasil dari modal yang diserikatkan.
  3. Kadar pekerjaan masing-masing pihak yang berserikat[29]

 

  1. JENIS-JENIS AL-MUSYARAKAH

Al-Musyarakah ada dua jenis diantaranya yaitu sebagai berikut :

  1. Musyarakah pemilikan

Musyarakah ini tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.

  1. Musyarakat Akad

Musyarakat ini terbentuk dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah. Mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Musyarakah ini terbagi menjadi lima yaitu :

  1. Syirkah al-‘Inan

Inan artinya sama dalam menyetorkan atau menawarkan modal. Syirkah ‘Inan merupakan suatu akad di mana dua orang atau lebih berkongsi dalam modal dan sama-sama memperdagangkannya dan bersekutu dalam keuntungan. Hukum jenis syirkah ini merupakan titik kesepakatan di kalangan para fukoha. Demikan juga syirkah ini merupakan bentuk syirkah yang paling banyak dipraktekkan kaum Muslimin di sepanjang sejarahnya. Hal ini disebabkan karena bentuk perkongsian ini lebih mudah dan praktis karena tidak mensyaratkan persamaan modal dan pekerjaan. Salah satu dari patner dapat memiliki modal yang lebih tinggi dari pada mitra yang lain. Begitu pula salah satu pihak dapat menjalankan perniagaan sementara yang lain tidak ikut serta. Pembagian keuntunganpun dapat dilakukan sesuai dengan kesepakatan mereka bahkan diperbolehkan salah seorang dari patner memiliki keuntungan lebih tinggi sekiranya ia memang lebih memiliki keahlian dan keuletan dari pada yang lain. Adapun kerugian harus dibagi menurut perbandingan saham yang dimiliki oleh masing-masing patner. Mayoritas ulama membolehkan jenis al-Musyarakah ini.[30]

  1. Syirkah Mufawadhah

Mufawadhoh artinya sama-sama. Syirkah ini dinamakan syirkah mufawadhoh karena modal yang disetor para patner dan usaha fisik yang dilakukan mereka sama atau proporsional. Jadi syirkah mufawadhoh merupakan suatu bentuk akad dari beberapa orang yang menyetorkan modal dan usaha fisik yang sama. Masing-masing patner saling menaggung satu dengan lainnya dalam hak dan kewajiban. Dalam syirkah ini tidak diperbolehkan satu patner memiliki modal dan keuntungan yang lebih tinggi dari para patner lainnya. Yang perlu diperhatian dalam syirkah ini adalah persamaan dalam segala hal di antara masing-masing patner. Dengan demikian, syarat utama dari jenis al-Musyarakah ini adalah kesamaan dana yang diberikan, kerjam tanggung jawab, dan beban utama dibagi oleh masing-masing pihak.[31]

  1. Syirkah A’maal

Syirkah ini dibentuk oleh beberapa orang dengan modal profesi dan keahlian masing-masing. Profesi dan keahlian ini bisa sama dan bisa juga berbeda. Misalnya satu pihak tukang cukur dan pihak lainnya tukang jahit. Mereka menyewa satu tempat untuk perniagaannya dan bila mendapatkan keuntungan dibagi menurut kesepakatan di antara mereka. Syirkah ini dinamakan juga dengan syirkah shona’i atau taqobul.[32]

  1. Syirkah Wujud

Syirkah ini dibentuk tanpa modal dari para patner. Mereka hanya bermodalkan nama baik yang diraihnya karena kepribadiannya dan kejujurannya dalam berniaga. Syirkah ini terbentuk manakala ada dua orang atau lebih yang memiliki reputasi yang baik dalam bisnis memesan suatu barang untuk dibeli dengan kredit (tangguh) dan kemudian menjualnya dengan kontan. Keuntungan yang dihasilkan dari usaha ini kemudian dibagi menurut persyaratan yang telah disepakati antara mereka.

  1. Syirkah al-Mudharabah

Al-Mudharabah kerjasama antara shohibul mal dengan mudhorib.

  1. APLIKASI DALAM PERBANKAN
  2. Pembiayaan Proyek
  3. Modal Ventura
    1. MANFAAT AL-MUSYARAKAH

Terdapat banyak manfaat dari pembiayaan secara musyarakah ini, diantaranya sebagai berikut :

  1. Manfaat al-Musyarakah
    1. Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
    2. Bank tidak berkewajiban membanyar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan atau hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan perlu mengalami negatif spread.
    3. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow atau arus kas usaha nasabahm sehingga tidak memberatkan nasabah.
    4. Resiko
      1. Side steaming.
      2. Lalai dan sesalahhan yang disengaja.
      3. Menyembunyikan keuntungan oleh nasabah, bila nasabahnya tidak jujur.

 

  1. AKUNTANSI MUSYARAKAH

Dalam masalah ini kami ingin mencontohkan akuntansi Musyarakah yaitu produk  penyaluran  dana  dengan  sistem  bagi  hasil  khususnya musyarokah,   pada Lembaga BMT   Al-Ikhlas   maupun   BMT   Artha   Mulia   Insani.[33]

Langsung saja bahwa lembaga ini ketika melakukan kerja sama dengan sistem Musyarakah maka lembaga BMT   Al-Ikhlas   maupun   BMT   Artha   Mulia   Insani  harus menyediakan sebagian dana yang diperlukan anggota untuk menjalankan kegiatan usahanya   selama   ini   dan   tentu   saja   tetap   mengikutsertakan   BMT   dalam prakteknya. Dalam melakukan pembiayaan ini, BMT akan memberikan bagi hasil kepada anggota sesuai nisbah yang telah disepakati bersama diawal perjanjian.Transaksi  pembiayaan  musyarokah  secara  umum  dapat  dilihat  dalam  skema berikut ini:

BAB III PENUTUP

 

  1. KESIMPULAN

Tidak bertolak dari perumusan masalah dan uraian di atas, maka dalam tulisan makalah ini dapat ditarik beberapa simpulan, sebagai berikut :

  1. Prinsip  musyarakah sangat baik untuk dikembangakan dan juga diamalkan.
  2. Prinsip  musyarakah merupakah salah satu muamalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip islam.

 

  1. SARAN

Menilik   pada   simpulan   seperti sijelaskan di atas, maka dalam penelitian tesis ini disarankan, sebagai berikut:

  1. Prinsip  musyarakah  merupakan  pembiayaan terbaik   dalam   bank   syariah,   adalah   sebagai   medote   pembiayaan   yang didasarkan  pada  keikutsertaan  bank  bersama-sama  dengan  nasabah  untuk suatu  proyek  tertentu  dalam  menghasilkan  laba  atau  rugi.  Oleh  karena  itu disarankan  kepada  Bank  Syariah  pada  umumnya,  kiranya  pembiayaan    dengan  prinsip musyarakah  dapat  terus  ditingkatkan  penggunaanya  oleh  masyarakat  seperti pembiayaan-pembiayaan yang lainnya, yaitu: qardh, murabahah, dan mudharabah.
  2. Perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat atas keberadaan Bank Syariah umumnya  yang  mengimplementasikan  produk pembiayaan  dengan prinsip musyarakah yang didukung oleh  sumber daya manusia (SDM) yang profisional.
  3. Pengambilan    langkah-langkah    sebagai    solusi    dalam    mengembangkan penggunaan   produk   pembiayaan   dengan   prinsip   musyarakah, disarankan  perlu  terus  dilakukan,  tetapi  hendaknya  berdasarkan  ketentuan syariah.

 

 

 

 

[1]  Muslimin H. Kara, Bank Syariah Di Indonesia, Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap

Perbankan Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 197.

[2]  Pasal  1  ayat  (2)  dan  ayat  (3)    Undang-Undang  Nomor  10  Tahun  1998,  Tentang  Perubahan  Atas Undang-Undang  Nomor 7 Tahun 1992, Tentang Perbankan.

[3] Latifa  M.  Algaoud  dan  Mervyn  K.  Lewis,  Perbankan  Syariah,  Prinsip,  Praktik,  Prospek,              

PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2001, hlm. 9-10

[4] Diskriminatif  yang  dimaksudkan  disini  adalah  adanya  ketidakadilan  yang  dialami  oleh  masyarakat (rakyat  kecil  atau  ekonomi  lemah),  dimana  pemilik  modal  yang  mempunyai  dana  besar cenderung akan memperoleh keuntungan yang berlipat dengan bunga tabungan yang ada dan tidak mau tahu atas kerugian  yang  dialami  oleh  nasabah  yang  penting  uang  tabungan  dengan  bunganya  dapat  kembali, sementara  masyarakat  biasa  yang  menjadi  nasabah  (peminjam  uang)  di  bank  tetap  harus  membayar pokok  pinjaman  ditambah  bunga,  walaupun  usaha  mereka  mengalami  kerugian  akibat  dari  keadaan yang  memaksa  (overmach)  (M.  Sood  at.al.  Kedudukan  dan  Kewenangan  Dewan  Pengawas  Syariah Dalam Struktur    PT. Bank Berkaitan Dengan UU No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas dan Produk  Fatwa  Dewan  Syariah  Nasional,  Laporan  Penelitian,  Kerja  Sama  Antara  Bank  Indonesia Dengan Fakultas Hukum Universitas Mataram, 2005, hlm. 2).

[5] Profit  sharing,  dalam  kamus  ekonomi  diartikan  pembagian  laba.  Secara  definitif,  profit  sharing diartikan  :  “distribusi  beberapa  bagian  dari  laba  pada  para  pegawai  dari  suatu  perusahaan”.  Lebih lanjut dikatakan, bahwa hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan yang didasarkan pada

laba yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran mingguan atau

bulanan (Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin Pada Bank Syariah, Cetakan

Kedua Edisi Revisi, UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 18).

[6]  Karnaen  A.  Partaatmadja,  Membumikan  Ekonomi  Islam  Di  Indonesia,  Usaha  Kami,  Depok,  1996, hlm. 4

[7] Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah, Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis,

Diterjemahkan Oleh Arif Maftuhin, Paramadina, Jakarta, 2004, hlm. 93

[8] A.W. Munawwir Kamus Almunawwir Arab Indonesia Terlengkap, Pustaka Progresif KDI, Surabaya, 1997 hlm. 715

[9] Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis,  diterjemahkan Oleh Arif Maftuhin, Paramadina. Jakarta, 2004, hlm. 88

[10] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta Gema Insani, cet IV 2009, hlm. 90

[11] Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1999.  hlm. 57

[12] Muhamad,  Teknik  Perhitungan  Bagi  Hasil  dan  Profit  Margin  Pada  Bank  Syariah,  UII  Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 79

[13] Taqyuddin  An-Nabhani,  Membangun  Sistem  Ekonomi  Alternatif  Perspektif  Islam,  Diterjemahkan oleh Moh. Maghfur Wachid, Risalah Gusti, Surabaya, 1996, hlm. 153

[14] Bodayatul Mujtahid II – , hlm. 253-257.

[15] Sayyid  Sabiq,  Fiqih  Sunnah  Jilid  13,  Alih  Bahasan  Kamaluddin  A.  Marzuki,  PT.  Alma’arif,

Bandung,  1996,  hlm.  174,  dalam  Rachman  Usman,  Aspek-Aspek  Hukum  Perbankan  Islam  Di

Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 19

[16] Tim   Penggembangan   Perbankan   Syariah   Institut   Bankir   Indonesia,   Konsep,   Produk   dan

Implementasi Operasional Bank  Syariah, Djambatan, Jakarta, 2002, hlm. 181

[17] Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis,

Diterjemahkan Oleh Arif Maftuhin, Paramadina, Jakarta, 2004, hlm. 93

[18] Sutan Remy Sjahdeini, 2000, hlm. 62-63, dalam Rachman Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan

Islam Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 19

[19] Rachmadi  Usman,  Aspek-Aspek  Hukum  Perbankan  Islam  Di  Indonesia,  PT.  Citra  Aditya  Bakti, Bandung, 2002, hlm.19

[20] Departemen Agama RI. Al-Qur’an Dan Terjemahnya. Gema Risalah Press Banduung Jakarta Barat, hlm. 146

[21] Departemen Agama RI. Al-Qur’an Dan Terjemahnya. Gema Risalah Press Banduung Jakarta Barat, hlm. 910

[22] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta Gema Insani, cet IV 2009, hlm.91.

[23] Departemen Agama RI. Al-Qur’an Dan Terjemahnya. Gema Risalah Press Banduung Jakarta Barat, hlm199.

[24] Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud Darul Kitab bairud Juz 3 hlm. 264.

[25] Muhammad Bin Isa At-Tirmizdi As-Salamii, Sunan Tirmidzi bab Maa Dzukiro Fii Sholhi Bainannasi Juz 3, Dar Ihya’ At-Turoosii Al Arobii, Bairut, hlm. 634

[26]Abdul Ibn Ahmad Qodamah, Muqhni wa Syarh Kabir (Bairut: Darul Fikr, 1979, Vol V hlm. 109) juga bisa dibaca buku Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagimana Bank Islam, Cetakan Ketiga, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1999, hlm. 23-24

[27] Taqyuddin An-Nabhani,  Membangun  Sistem  Ekonomi  Alternatif  Perspektif  Islam,  Diterjemahkan Oleh  Moh. Maghfur Wachid, Risalah Gusti, Surabaya, 1996,  hlm. 153

[28] Tim Penggembangan Perbankan   Syariah   Institut   Bankir   Indonesia,   Konsep,   Produk   dan

Implementasi Operasional Bank Syariah, Djambatan, Jakarta, 2002, hlm. 181-182

[29] Muhamad, Teknik  Perhitungan  Bagi  Hasil  dan  Profit  Margin  Pada  Bank  Syariah,  UII  Press,

Yogyakarta, 2004, hlm. 80

[30] Wabah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islam wa Asillatuhu (Darmaskus; Darul Fikr, 1997), cetakan IV vol. V, hlm. 3881.

[31] AlMabsuth, vol. IX, hlm. 203

[32] Rad al-Mukhtar, vol. II, hlm. 372.

[33] Diana Albarra, Skripsi Evaluasi Akuntansi Praktik Penghimpunan Dana  Dan Pembiayaan  di BMT Yogyakarta  (studi kasus pada bmt artha mulia insani dan bmt al-ikhlas yogyakarta) Yogysksrts 2006, hlm. 65-71