MUSYARAKAH
BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG MASALAH
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak bulan Juli 1997 dan dirasakan dampaknya sampai sekarang, mendorong para penentu kebijakan dibidang ekonomi mengeluarkan kebijakan ekonomi untuk pemulihan ekonomi nasional. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah sebagai terapi untuk memulihkan kembali ekonomi nasional adalah dengan dikeluarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, tentang Perbankan, yang disahkan pada tanggal 10 Nopember 1998 dan dicatat dalam Lembaran Negara Nomor 182 Tahun 1998.
Perubahan-perubahan pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, dominan berkaitan dengan dua aspek, yaitu: aspek semakin kuatnya kewenangan Bank Indonesia dan aspek akomodasinya sistem berbankan Islam dalam sistem perbankan nasional[1]. Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, tidak hanya mengenal dual banking system, tetapi juga lebih mempertegas bahwa keberadaan Bank dengan prinsip syariah sejajar dengan Bank konvesional dengan sistem bunga. Hal ini disebutkan dalam pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang menyebutkan bahwa: Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan pasal 1 ayat (3), menyebutkan bahwa Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran[2]. Dari ketentuan normatif ini tampak jelas kesejajaran antara Bank konvesional dengan sistem bunga dan bank syariah dengan prinsip bagi hasil (profit sharing) dalam tata hukum perbankan nasional.
Dalam Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah telah memberikan gambaran bahwa kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan usaha terkadang memerlukan dana dari pihak lain, antara lain melalui pembiayaan musyarakah, yaitu pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Bahwa pembiayaan musyarakah yang memiliki keunggulan dalam kebersamaan dan keadilan, baik dalam berbagi keuntungan maupun resiko kerugian, kini telah dilakukan oleh lembaga keuangan syari’ah (LKS). Dan bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang musyarakah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.
Kembali lagi ke Ide dasar sistem perbankan Islam, sebenarnya dapat dikemukakan dengan sederhana. Operasi institusi keuangan Islam terutama berdasarkan pada prinsip PLS (porfit-and-loss-sharing—bagi-untung-dan-rugi). Prinsip bagi hasil ini dalam keuangan Islam sangat dianjurkan dan merupakan solusi yang pantas dan relefan untuk mengatasi masalah alokasi dana yang terbatas, baik yang berupa dana pinjaman atau tabungan dengan maksud supaya pengelolaan dan pembiayaan bisnis secara efektif dapat tercapai. Bank Islam (syariah pen.) tidak membebankan bunga, melainkan mengajak partisipasi dalam bidang usaha yang didanai. Para deposan juga sama-sama mendapat bagian dari keuntungan bank sesuai dengan rasio yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian ada kemitraan antara bank Islam (syariah pen.) dan para deposan di satu pihak, dan antara bank para nasabah investasi—sebagai pengelola sumber daya para deposan dalam berbagai usaha produktif—dipihak lain[3].
Bank syariah dengan sistem bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) memiliki konsep yang sangat tepat di tengah kondisi ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat. Konsep kebersamaan dalam menghadapi risiko dan memperoleh keuntungan, serta adanya keadilan dalam berusaha menjadi suatu potensi yang sangat strategis bagi perkembangan bank syariah di masa yang akan datang. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar atau mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam (Muslim), tantangan ini sekaligus menjadi prospek yang cukup cerah untuk pengembangan bank syariah di masyarakat. Di samping itu bank syariah dengan sistem bagi basil (profit and loss sharing) lebih mengutamakan stabilitas di atas rentabilitas, sedangkan bank konvensional dengan sistem bunga mempunyai kelemahan utama yaitu memiliki sifat inflatoir dan cenderung diskriminatif [4].
Bank syariah merupakan suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai organisasi perantara antara yang berkelebihan dana dan yang kekurangan dana yang dalam menjalankan aktivitasnya harus sesuai dengan yang telah dicantumkan dalam Fatwa Dewan Syari’ah Nasional di atas yaitu prinsip-prinsip Islam.
Pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan syariah dengan mitra bisnisnya antara lain dengan menggunakan prinsip musyarakah/syirkah yang bertujuan untuk kemajuan, membantu dan mengembangkan pelayanan produk-produknya berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan pembiayaan dengan mitra bisnisnya menggunakan prinsip bagi hasil (profit sharing)[5]. Dengan menggunakan prinsip bagi hasil (profit and loss sharing) akan terjadi kerja sama dan kebersamaan dalam menaggung resiko usaha dan berbagi hasil usaha antara pemilik dana (shabiul mal) dengan pihak bank sebagai pengelola (mudharib).[6]
Musyarakah adalah model profit-sharing (bagi hasil) yang lebih disukai dalam hukum Islam. Musyarakah, yang dideskripsikan oleh International Islamic Bank For Invesment and Development, sebagai ”metode pembiayaan terbaik dalam bank Islam, adalah suatu metode yang didasarkan pada keikutsertaan bank dan pencari pembiayaan (mitra potensial) untuk suatu proyek tertentu, dan akhirnya, keikutsertaan dalam menghasilkan laba atau rugi. Musyarakah dalam perbankan Islam telah dipahami sebagai suatu mekanisme yang dapat menyatukan kerja dan modal untuk produksi barang dan jasa yang bermanfaat untuk masyarakat.[7]
Dari fakta berdasarkan sebagian data yang diungkapkan di atas, dapat diambil pemahaman bahwa dalam menjalankan bisnisnya perbankan syariah lebih banyak menggunakan sistem bagi hasil (profit and sharing), seperti musyarakah.
- RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diurikan di atas, ternyata bank syariah berfungsi tidak hanya sebagai intermediasi (intermediary) pihak-pihak yang kelebihan dana (surplus of funds) dan pihak yang memerlukan dana (luck of funds), tetapi juga berfungsi sebagai agent of development, yaitu sebagai alat pemerintah dalam membangun perekonomian bangsa melalui pembiayaan semua jenis usaha pembangunan, yaitu sebagai perantara keuangan (finncial intermediary) yang memberikan kontribusi terhadap pendapatan negara.
Maka dalam makalah ini akan kami sedikit utarakan dalam masalah sebagai berikut:
- Konsepsi Dasar Pembiayaan Musyarakah;
- Jenis-Jenis Al-Musyarakah;
- Aplikasi dalam perbankan;
- Manfaat al-musyarakah.
TUJUAN PEMBAHASAN
-
- Apa Konsepsi Dasar Pembiayaan al-Musyarakah;
- Apa Jenis-Jenis Al-Musyarakah;
- Apa Aplikasi dalam perbankan;
- Apa Manfaat al-musyarakah.
- Bagaimana Akuntansi al-Musyarakah.
- PENUTUP
- Kesimpulan
- Pesan
BAB II PEMBAHASAN
- KONSEPSI DASAR PEMBIAYAAN MUSYARAKAH
- 1. Istilah dan Pengertian Musyarakah
Dilarangnya praktik riba dalam bidang muamalat Perbankan Islam oleh ketentuan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka dalam ajaran Islam diberikan metode lain, yaitu melalui musyarakah. Kata musyarakah lughotan bersumber dari akar kata Fiil madhi yaitu Syarika yang mempunyai banyak arti diantaranya; menjadi sekutunya, temannya, persekutuan, perseroan, perkumpulan, perserikatan,dan juga perhimpunan[8], yang dalam Al-Qur’an, disebutkan sebanyak lebih kurang 170 kali, walau tak satupun dari ayat ini yang menggunakan istilah musyarakah persis dengan arti kata kemitraaan dalam suatu kongsi bisinis[9]. Istilah lain yang digunakan untuk musyarakah adalah syarikah atau syirkah.
Dalam bahasa Inggris musyarakah diterjemahkan dengan istilah partnership. Sedangkan oleh lembaga-lembaga keuangan Islam menerjemahkannya dengan istilah participation financing atau partnership, project financing participation[10]. Dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan kemitraan, persekutuan atau perkongsian.[11] Musyarakah atau syirkah dari segi bahasa berarti percampuran[12]. Dalam hal ini mencampur satu modal dengan modal yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sedangkan menurut syara’, syrikah (perseroan) adalah transaksi antara dua orang atau lebih, yang dua-duanya sepakat untuk melakukan kerja yang bersifat finansial dengan tujuan mencari keuntungan[13]. Atau Al–Musyarakah yaitu akad kerja sama antara du pihak atau lebih untuk suatu usahatertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[14]
Para fuquha mendifinisikannya sebagai akad antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan[15]. Secara teknis dalam aplikasi perbankan, musyarakah adalah kerja sama antara pemilik modal atau bank dengan pedagang/pengelola, dimana masing-masing pihak memberikan konstribusi modal dengan keuntungan dibagi menurut kesepakatan dimuka dan apabila rugi ditanggung oleh kedua belah pihak yang bersepakat[16]. Sehingga musyarakah dalam perbankan Islam telah dipahami sebagai suatu mekanisme yang dapat menyatukan kerja dan modal untuk produksi barang dan jasa yang bermanfaat untuk masyarakat. Musyarakah dapat digunakan dalam setiap kegiatan yang dijalankan untuk tujuan menghasilkan laba. Bagi bank-bank Islam, musyarakah dapat digunakan untuk tujuan dagang murni yang lazim bersifat jangka pendek, atau untuk keikutsertaan dalam investasi proyek-proyek jangka menengah hingga jangka panjang[17].
Sutan Remy Sjahdeini, mengatakan bila musyarakah atau syirkah dilakukan sebagai transaksi Bank atau oleh lembaga pembiayaan tidak lain merupakan usaha patungan (joint venture) dengan para mitranya terdiri atas bank atau lembaga pembiayaan dan pengusaha (nasabah). Sebagai suatu usaha patungan, maka dapat diberlakukan semua ketentuan yang biasanya berlaku bagi perjanjian usaha patungan di antara para mitra usaha. Dapat pula musyarakah ini dilakukan sebagai suatu modal ventura [18].
Secara sederhana musyarakah dapat diartikan akad kerja sama usaha patungan antara 2 (dua) pihak atau lebih pemilik modal untuk membiayai suatu jenis usaha yang halal dan produktif. Pendapatan atau keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah yang telah disepakati bersama pada saat membuat akadnya. Bank disini melakukan usaha pembiayaan dengan cara menyertakan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima pembiayaannya. Bank bersama mitra usaha mengadakan kesepakatan tentang pembagian keuntungan dari usaha yang dibiayai. Porsi pembagian keuntungan terebut tidak harus sebanding dengan pangsa pembiayaan masing-masing, tetapi atas dasar perjanjian kedua belah pihak. Apabila terjadi kerugian, maka kerugian tersebut akan ditanggung bersama sesuai dengan pangsa pembiayaan masing-masing. Dalam hal ini bank dapat ikut serta mengelola usaha tersebut[19].
Jadi pemahaman kami atau dapat dikatakan bahwa musyarakah atau syirkah adalah keikutsertaaan dua orang atau lebih dalam suatu usaha tertentu dengan sejumlah modal yang telah ditetapkan berdasarkan perjanjian untuk bersama-sama menjalankan suatu usaha dimana pembagian keuntungan dan kerugian dilakukan menurut bagian yang ditentukan sesuai jumlah kontribusi modal dan kesepakatan.
- 2. Landasan Hukum Musyarakah
Adapun Landasan dasar al-musyarakah, yaitu:
- Al-Qur’an :
- QS. An-Nisa (4):12 :
فَإِن كَانُوَاْ أَكْثَرَ مِن ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاء
”…. Jikalau saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu ….”.[20]
- QS. As-Sad (38): 24 :
وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang orang yang bersyarikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh”. [21]
Kedua ayat di atas menunjukkan perkenan dan pengakuan Allah Shubhanahu Wa Ta’ala, akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam Surat an-Nisaa’ ayat 12 perkonsian terjadi secara otomatis (jabr) karena waris, sedangkan dalam Surat As-Sad ayat 24 terjadi atas dasar akad (ikhtiyari).[22]
- QS. al-Ma’idah (5): 1:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ ……………
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”[23]
- Al-Hadist :
- Dalam kitab Sunan Abu Dawud bab. Syirkah
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْمِصِّيصِىُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الزِّبْرِقَانِ عَنْ أَبِى حَيَّانَ التَّيْمِىِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ قَالَ « إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا ».
“bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : ”Sesungguhnya Allah SWT telah berfirman : aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya, seandainya berkhianat maka Saya keluar dari mereka”. (HR. Abu Dawud No. 3385).[24]
Hadist Qudsi tersebut menunjukkan kecintaan Alloh kepada hamba-hamba-Nya yang melakukan perkongsian selama saling menjunjung tinggi amanat kebersamaan dan menjahui pengkhianatan.
- Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوِ أَحَلَّ حَرَامًا وَإِنَّ الْمُسْلِمِينَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً.
““Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” [25]
- ”Rahmat Allah SWT tercurahkan atas 2 (dua) pihak yang sedang berkongsi selama mereka tidak melakukan pengkhianatan, manakala berkhianat, maka bisnisnya akan tercela dan keberkatan pun akan sirna dari padanya”. (HR. Abu Daud).
- Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW, berkata : “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman : ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya”.
- Taqrir Nabi terhadap kegiatan musyarakah yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu.
- Ijma’
Ibn Qudamah telah berkata :”Kaum Muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya”.[26]
- Kaidah fiqh:
الاصل فى المعاملات الاباحة الا ان يدل دليل على تحريمها
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
- 3. Rukun dan Syarat Musyarakah
Menurut syara’, syirkah atau musyarakah adalah transaksi antara dua orang atau lebih, yang dua-duanya sepakat untuk melakukan kerja yang bersifat finasial dengan tujuan mencari keuntungan. Transaksi perseroan tersebut mengaharuskan adanya ijab dan qabul sekaligus, sebagaimana layaknya transaksi yang lain. Bentuk ijab-nya adalah :”Aku mengadakan perseroan dengan anda dalam masalah ini”, kemudian yang lain menjawab (qabul) :”Aku terima”. Akan tetapi, tidak harus selalu memakai ungkapan di atas, yang penting maknanya sama. Artinya, didalam menyatakan ijab dan qabul tersebut harus ada makna yang menunjukakan, bahwa salah satu di antara mereka mengajak kepada yang lain—baik secara lisan ataupun tulisan—untuk mengadakan kerja sama (perseroan) dalam suatu masalah. Kemudian yang lain menerima perseroan tersebut. Oleh karena itu, adanya kesepakatan untuk melakukan perseroan saja, masih dinilai belum cukup; termasuk kesepakatan memberikan modal untuk perseroan saja, juga masih dinilai belum cukup, tetapi harus mengandung makna bekerja sama (melakukan perseroan) dalam suatu urusan. Syarat sahnya dan tidaknya transaksi perseroan amat tergantung kepada sesuatu yang ditransaksikan, yaitu harus sesuatu yang bisa dikelola, dapat diwakilkan sehingga sesuatu yang bisa dikelola tersebut sama-sama mengikat para pihak[27].
Menurut Imam Hanafi hanya ada dua rukun dan syarat musyarakah, yaitu ijab dan qabul. Tetapi menurut para ulama dan praktisi perbankan menjabarkan lebih lanjut rukun musyarakah menjadi[28]:
- Ucapan (sigot), penawaran dan penerimaan (ijab dan qabul);
Tidak ada bentuk khusus dari kontrak musyarakah. Ia dapat berbentuk pengucapan yang menunjukan tujuan. Berakad dianggap sah jika diucapkan secara verbal. Kontrak musyarakah dicatat dalam tulisan dan disaksikan.
- Para pihak yang berkontrak; dan
Pihak yang berkontrak harus berkompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan, karena dalam musyarakah mitra kerja juga berarti mewakilkan harta untuk diusahakan sama halnya dengan mudharabah.
- Objek kesepakatan : modal dan kerja.
- Modal/Dana
- Modal yang diberikan harus tunai, emas, perak, atau nilainya sama. Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama dalam hal ini.
- Modal dapat terdiri dari asset perdagangan, seperti barang-barang, property, perlengkapan dan sebagainya. Dapat juga dalam bentuk hak yang tidak terlihat, seperti lisensi, hak paten dan sebagainya. Dibolehkan oleh bebarapa ulama modal sebuah perusahaan dapat disumbangkan dalam bentuk jenis-jenis asset ini asalkan barang-barang itu dinalai dengan tunai menurut yang disepakati para mitranya.
- Mazhab Syafii dan Maliki mensyaratkan dana yang disediakan oleh para pihak itu harus dicampur supaya tidak ada keistimewaan diberikan kepada bagian salah satu dari mereka. Tetapi mazhab Hanafi tidak mencantumkan syarat ini jika modal itu dalam bentuk tunai, sedangkan bazhab Hanbali tidak mensyaratkan percampuran dana.
- Kerja
- Modal/Dana
Partisipasi para mitra dalam pekerjaan musyarakah adalah sebuah hukum dasar dan tidak dibolehkan bagi salah satu dari mereka untuk mencantumkan ketidak-ikutsertaan dari mitra lainnya. Tetapi kesamaan kerja bukanlah merupakan syarat. Dibolehkan seorang mitra melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh mensyaratkan bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
Muhamad, menjelaskan bahwa musyarakah akan menjadi akad apabila telah terpenuhi syarat dan rukun-rukunya, yaitu:
- Melafazkan kata-kata yang menunjukan izin yang akan mengendalikan harta.
- Anggota syarikat percaya mempercayai.
- Mencampurkan harta yang akan diserikatkan.
Adapun rukun syahnya melakukan syirkah/musyarakah, adalah :
- Macam harta modal.
- Nisbah bagi hasil dari modal yang diserikatkan.
- Kadar pekerjaan masing-masing pihak yang berserikat[29]
- JENIS-JENIS AL-MUSYARAKAH
Al-Musyarakah ada dua jenis diantaranya yaitu sebagai berikut :
- Musyarakah pemilikan
Musyarakah ini tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.
- Musyarakat Akad
Musyarakat ini terbentuk dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah. Mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Musyarakah ini terbagi menjadi lima yaitu :
- Syirkah al-‘Inan
‘Inan artinya sama dalam menyetorkan atau menawarkan modal. Syirkah ‘Inan merupakan suatu akad di mana dua orang atau lebih berkongsi dalam modal dan sama-sama memperdagangkannya dan bersekutu dalam keuntungan. Hukum jenis syirkah ini merupakan titik kesepakatan di kalangan para fukoha. Demikan juga syirkah ini merupakan bentuk syirkah yang paling banyak dipraktekkan kaum Muslimin di sepanjang sejarahnya. Hal ini disebabkan karena bentuk perkongsian ini lebih mudah dan praktis karena tidak mensyaratkan persamaan modal dan pekerjaan. Salah satu dari patner dapat memiliki modal yang lebih tinggi dari pada mitra yang lain. Begitu pula salah satu pihak dapat menjalankan perniagaan sementara yang lain tidak ikut serta. Pembagian keuntunganpun dapat dilakukan sesuai dengan kesepakatan mereka bahkan diperbolehkan salah seorang dari patner memiliki keuntungan lebih tinggi sekiranya ia memang lebih memiliki keahlian dan keuletan dari pada yang lain. Adapun kerugian harus dibagi menurut perbandingan saham yang dimiliki oleh masing-masing patner. Mayoritas ulama membolehkan jenis al-Musyarakah ini.[30]
- Syirkah Mufawadhah
Mufawadhoh artinya sama-sama. Syirkah ini dinamakan syirkah mufawadhoh karena modal yang disetor para patner dan usaha fisik yang dilakukan mereka sama atau proporsional. Jadi syirkah mufawadhoh merupakan suatu bentuk akad dari beberapa orang yang menyetorkan modal dan usaha fisik yang sama. Masing-masing patner saling menaggung satu dengan lainnya dalam hak dan kewajiban. Dalam syirkah ini tidak diperbolehkan satu patner memiliki modal dan keuntungan yang lebih tinggi dari para patner lainnya. Yang perlu diperhatian dalam syirkah ini adalah persamaan dalam segala hal di antara masing-masing patner. Dengan demikian, syarat utama dari jenis al-Musyarakah ini adalah kesamaan dana yang diberikan, kerjam tanggung jawab, dan beban utama dibagi oleh masing-masing pihak.[31]
- Syirkah A’maal
Syirkah ini dibentuk oleh beberapa orang dengan modal profesi dan keahlian masing-masing. Profesi dan keahlian ini bisa sama dan bisa juga berbeda. Misalnya satu pihak tukang cukur dan pihak lainnya tukang jahit. Mereka menyewa satu tempat untuk perniagaannya dan bila mendapatkan keuntungan dibagi menurut kesepakatan di antara mereka. Syirkah ini dinamakan juga dengan syirkah shona’i atau taqobul.[32]
- Syirkah Wujud
Syirkah ini dibentuk tanpa modal dari para patner. Mereka hanya bermodalkan nama baik yang diraihnya karena kepribadiannya dan kejujurannya dalam berniaga. Syirkah ini terbentuk manakala ada dua orang atau lebih yang memiliki reputasi yang baik dalam bisnis memesan suatu barang untuk dibeli dengan kredit (tangguh) dan kemudian menjualnya dengan kontan. Keuntungan yang dihasilkan dari usaha ini kemudian dibagi menurut persyaratan yang telah disepakati antara mereka.
- Syirkah al-Mudharabah
Al-Mudharabah kerjasama antara shohibul mal dengan mudhorib.
- APLIKASI DALAM PERBANKAN
- Pembiayaan Proyek
- Modal Ventura
- MANFAAT AL-MUSYARAKAH
Terdapat banyak manfaat dari pembiayaan secara musyarakah ini, diantaranya sebagai berikut :
- Manfaat al-Musyarakah
- Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
- Bank tidak berkewajiban membanyar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan atau hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan perlu mengalami negatif spread.
- Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow atau arus kas usaha nasabahm sehingga tidak memberatkan nasabah.
- Resiko
- Side steaming.
- Lalai dan sesalahhan yang disengaja.
- Menyembunyikan keuntungan oleh nasabah, bila nasabahnya tidak jujur.
- AKUNTANSI MUSYARAKAH
Dalam masalah ini kami ingin mencontohkan akuntansi Musyarakah yaitu produk penyaluran dana dengan sistem bagi hasil khususnya musyarokah, pada Lembaga BMT Al-Ikhlas maupun BMT Artha Mulia Insani.[33]
Langsung saja bahwa lembaga ini ketika melakukan kerja sama dengan sistem Musyarakah maka lembaga BMT Al-Ikhlas maupun BMT Artha Mulia Insani harus menyediakan sebagian dana yang diperlukan anggota untuk menjalankan kegiatan usahanya selama ini dan tentu saja tetap mengikutsertakan BMT dalam prakteknya. Dalam melakukan pembiayaan ini, BMT akan memberikan bagi hasil kepada anggota sesuai nisbah yang telah disepakati bersama diawal perjanjian.Transaksi pembiayaan musyarokah secara umum dapat dilihat dalam skema berikut ini:
BAB III PENUTUP
- KESIMPULAN
Tidak bertolak dari perumusan masalah dan uraian di atas, maka dalam tulisan makalah ini dapat ditarik beberapa simpulan, sebagai berikut :
- Prinsip musyarakah sangat baik untuk dikembangakan dan juga diamalkan.
- Prinsip musyarakah merupakah salah satu muamalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip islam.
- SARAN
Menilik pada simpulan seperti sijelaskan di atas, maka dalam penelitian tesis ini disarankan, sebagai berikut:
- Prinsip musyarakah merupakan pembiayaan terbaik dalam bank syariah, adalah sebagai medote pembiayaan yang didasarkan pada keikutsertaan bank bersama-sama dengan nasabah untuk suatu proyek tertentu dalam menghasilkan laba atau rugi. Oleh karena itu disarankan kepada Bank Syariah pada umumnya, kiranya pembiayaan dengan prinsip musyarakah dapat terus ditingkatkan penggunaanya oleh masyarakat seperti pembiayaan-pembiayaan yang lainnya, yaitu: qardh, murabahah, dan mudharabah.
- Perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat atas keberadaan Bank Syariah umumnya yang mengimplementasikan produk pembiayaan dengan prinsip musyarakah yang didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang profisional.
- Pengambilan langkah-langkah sebagai solusi dalam mengembangkan penggunaan produk pembiayaan dengan prinsip musyarakah, disarankan perlu terus dilakukan, tetapi hendaknya berdasarkan ketentuan syariah.
Perbankan Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 197.
[2] Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, Tentang Perbankan.
[3] Latifa M. Algaoud dan Mervyn K. Lewis, Perbankan Syariah, Prinsip, Praktik, Prospek,
PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2001, hlm. 9-10
[4] Diskriminatif yang dimaksudkan disini adalah adanya ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat (rakyat kecil atau ekonomi lemah), dimana pemilik modal yang mempunyai dana besar cenderung akan memperoleh keuntungan yang berlipat dengan bunga tabungan yang ada dan tidak mau tahu atas kerugian yang dialami oleh nasabah yang penting uang tabungan dengan bunganya dapat kembali, sementara masyarakat biasa yang menjadi nasabah (peminjam uang) di bank tetap harus membayar pokok pinjaman ditambah bunga, walaupun usaha mereka mengalami kerugian akibat dari keadaan yang memaksa (overmach) (M. Sood at.al. Kedudukan dan Kewenangan Dewan Pengawas Syariah Dalam Struktur PT. Bank Berkaitan Dengan UU No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas dan Produk Fatwa Dewan Syariah Nasional, Laporan Penelitian, Kerja Sama Antara Bank Indonesia Dengan Fakultas Hukum Universitas Mataram, 2005, hlm. 2).
[5] Profit sharing, dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara definitif, profit sharing diartikan : “distribusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan”. Lebih lanjut dikatakan, bahwa hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan yang didasarkan pada
laba yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran mingguan atau
bulanan (Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin Pada Bank Syariah, Cetakan
Kedua Edisi Revisi, UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 18).
[6] Karnaen A. Partaatmadja, Membumikan Ekonomi Islam Di Indonesia, Usaha Kami, Depok, 1996, hlm. 4
[7] Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah, Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis,
Diterjemahkan Oleh Arif Maftuhin, Paramadina, Jakarta, 2004, hlm. 93
[8] A.W. Munawwir Kamus Almunawwir Arab Indonesia Terlengkap, Pustaka Progresif KDI, Surabaya, 1997 hlm. 715
[9] Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, diterjemahkan Oleh Arif Maftuhin, Paramadina. Jakarta, 2004, hlm. 88
[10] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta Gema Insani, cet IV 2009, hlm. 90
[11] Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1999. hlm. 57
[12] Muhamad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin Pada Bank Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 79
[13] Taqyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Diterjemahkan oleh Moh. Maghfur Wachid, Risalah Gusti, Surabaya, 1996, hlm. 153
[14] Bodayatul Mujtahid II – , hlm. 253-257.
[15] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 13, Alih Bahasan Kamaluddin A. Marzuki, PT. Alma’arif,
Bandung, 1996, hlm. 174, dalam Rachman Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam Di
Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 19
[16] Tim Penggembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan
Implementasi Operasional Bank Syariah, Djambatan, Jakarta, 2002, hlm. 181
[17] Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis,
Diterjemahkan Oleh Arif Maftuhin, Paramadina, Jakarta, 2004, hlm. 93
[18] Sutan Remy Sjahdeini, 2000, hlm. 62-63, dalam Rachman Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan
Islam Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 19
[19] Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm.19
[20] Departemen Agama RI. Al-Qur’an Dan Terjemahnya. Gema Risalah Press Banduung Jakarta Barat, hlm. 146
[21] Departemen Agama RI. Al-Qur’an Dan Terjemahnya. Gema Risalah Press Banduung Jakarta Barat, hlm. 910
[22] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta Gema Insani, cet IV 2009, hlm.91.
[23] Departemen Agama RI. Al-Qur’an Dan Terjemahnya. Gema Risalah Press Banduung Jakarta Barat, hlm199.
[24] Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud Darul Kitab bairud Juz 3 hlm. 264.
[25] Muhammad Bin Isa At-Tirmizdi As-Salamii, Sunan Tirmidzi bab Maa Dzukiro Fii Sholhi Bainannasi Juz 3, Dar Ihya’ At-Turoosii Al Arobii, Bairut, hlm. 634
[26]Abdul Ibn Ahmad Qodamah, Muqhni wa Syarh Kabir (Bairut: Darul Fikr, 1979, Vol V hlm. 109) juga bisa dibaca buku Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagimana Bank Islam, Cetakan Ketiga, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1999, hlm. 23-24
[27] Taqyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Diterjemahkan Oleh Moh. Maghfur Wachid, Risalah Gusti, Surabaya, 1996, hlm. 153
[28] Tim Penggembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan
Implementasi Operasional Bank Syariah, Djambatan, Jakarta, 2002, hlm. 181-182
[29] Muhamad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin Pada Bank Syariah, UII Press,
Yogyakarta, 2004, hlm. 80
[30] Wabah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islam wa Asillatuhu (Darmaskus; Darul Fikr, 1997), cetakan IV vol. V, hlm. 3881.
[31] Al–Mabsuth, vol. IX, hlm. 203
[32] Rad al-Mukhtar, vol. II, hlm. 372.
[33] Diana Albarra, Skripsi Evaluasi Akuntansi Praktik Penghimpunan Dana Dan Pembiayaan di BMT Yogyakarta (studi kasus pada bmt artha mulia insani dan bmt al-ikhlas yogyakarta) Yogysksrts 2006, hlm. 65-71
Terima kasih