TELA’AH HADIST

TENTANG AKAD (PERJANJIAN) DALAM HUKUM BISNIS ISLAM

PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG MASALAH

Sejak awal ’70-an gerakan Islam ditingkat nasional telah memasuki bidang ekonomi dengan diperkenalkannya sistem ekonomi Islam, sebagai alternatif terhadap sistem kapitalis dan sistem sosialis. Wacana sistem ekonomi Islam itu diawali dengan konsep ekonomi dan bisnis non ribawi.  Sebenarnya sistem ekonomi Islam itu mencakup semua aspek ekonomi sebagaimana telah dirumuskan secara komprehensif oleh Umer Chappra dalam bukunya “The Future of Economics an Islamic Perspective”, yang menjelaskan bahwa:

“Ilmu yang memberikan kontribusi  langsung dan tidak langsung terhadaprealisasi kesejahteraan manusia, tetap berkonsentrasi pada aspek alokasi dan distribusi sumber-sumber daya dengan  tujuan utama untuk merealisasikan Maqoshidusy syar’iah.  Ilmu ekonomi Islam pada prinsipnya sama dengan ekonomi konvensional, namun yang mendasar perbedaannya terletak pada pertimbangan sosial kemanusiaan sesuai komitmen syariah Islam. Sementara pada ekonomi konvensional hanya bermuara pada upaya pemenuhan kebutuhan material seperti halnya dengan ekonomi kapitalis”.[1]

Namun, dewasa ini terkesan bahwa ekonomi Islam itu identik dengan konsep tentang sistem keuangan dan perbankan.  Kecenderungan ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu: Pertama, petunjuk Allah dalam al-Qur’an dan sunnah yang paling menonjol, sebagaimana yang dilihat oleh bahkan menjadi perhatian utama para ulama’ dan cendekiawan muslim, yang juga termasuk doktrin transaksi non ribawi. (larangan praktek riba). Kedua: peristiwa krisis minyak pada tahun 1974 dan 1979, yang menimbulkan kekuatan financial berupa petro dollar pada Negara-negara dikawasan Timur Tengah  dan Afrika Utara, termasuk juga Indonesia, Malaysia, dan Brunei di Asia Tenggara. Melihat gejala itulah, kemudian timbullah pemikiran untuk “memutar” dana petro-dollar tersebut melalui lembaga keuangan syariah.[2]

Salah satu Kecenderungan para Ilmuan Islam ini dipengaruhi oleh Hadist atau sunnah dalam menentukan suatu hukum atau memecahkan suatu masalah, maka dalam Makalah ini, sedikit memahami Hadist yang berhubungan dengan Muamalah terutama tentang perjanjian atau akad karena Hadist merupakan sumber Hukum Agama Islam yang ke-dua setelah al-Qur’an, hampir seluruh ummat islam telah sepakat menetapkan Hadist sebagai salah satu undang-undang yang wajib ditaati, baik berdasarkan petunjuk akal, petunjuk nash-nash Al-Qur’an maupun Ijma’ para sahabat. kedudukannya sebagai Sumber Hukum dan disertai  ragam kualitas periwayatannya, sangat perpengaruh terhadap hasil  ijtihad para ulama mujtahid di dalam menggali hukum. Setiap orang yang mendalami madhab-madhab fiqih, maka akan mengetahui betaba besar pengaruh Hadist di dalam penetapan hukum-hukum fiqihiyah. Tak heran jika kemudian para intelektual Muslim ataupun Barat (Orientalis) terutama perdebatan mereka tentang keotentikan Hadist nabi. Dan juga para ulama mulai dari para sahabat sampai ulama zaman sekarang  sangat bersungguh-sunguh dalam mengkaji hadist baik tentang periwayatanya ataupun memahami isi kandungnganya dari ragam sudut pandang ilmu pengetahuan, seperti ilmu fiqih, aqidah, akhlaq, tafsir dll. Mengingat posisinya yang sangat peting, mengetahui argumen kehujahan Hadist adalah suatu keniscayaan, khususnya bagi orang yang agama islam. Argumen tersebut dapat kita temukan di dalam al-Quran, as-Sunah sendiri, dan argumen rasional.

Menurut akal, beliau Nabi Muhammad Sholallohu’alaihi wa sallam, adalah sebagai Rosul Allah yang telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam malaksanakan tugas agama, yaitu menyampaikan hukum-hukum syari’at kepada seluruh umat, kadang-kadang beliau membawakan peraturan-peraturan yang isi dan redaksi peraturan itu telah diterima dari Alloh Shubhanabu wa ta’ala, dan kadang-kadang beliau membawakan peraturan-peraturan hasil cipataan sendiri atas bimbingan ilham dari Alloh. Dan tidak jarang pula beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu atau dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini terus berlaku sampai ada nash yang menasakhkannya. Sudah layak sekali kalau peraturan-peraturan dan insisiatif-inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham, maupun hasil ijtihad beliau, kita tepatkan sebagai sumber hukum positif. Kepercanyaan yang telah kita berikan kepada beliau sebagai utusan Alloh mengharuskan kepada kita untuk menaati sebagai peraturan yang dibawanya

  1. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan  latar belakang  masalah yang telah diurikan di  atas,  ternyata perlu sekali kita mempelajari Hadist dalam menentukan suatu kebijakan dalam Islam sesuai bimbingan Beliau Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasallam.

Maka dalam makalah ini ingin memahi lebih dalam tentang hadist dalam masalah Akad atau perjanjian yang sesuai dengan Syariah islam. Dan juga akada alam islam. Adapun dalam makalah ini insya Allah akan penulis bahas diantaranya sebagai berikut :

  1. Hadist tentang Akad dalam Hukum Bisnis Islam.
  2. Penjelasan Akad dan Aplikasi Fiqhnya
  3. Kasus Akad Bisnis Onlene
  4. PENUTUP
    1. Kesimpulan
    2. Pesan

 

PEMBAHASAN TELA’AH HADIST

TENTANG AKAD (PERJANJIAN) DALAM HUKUM BISNIS ISLAM

  1. Hadist tentang Akad dalam Hukum Bisnis Islam

Hadist yang menerangkan tentang Akad sebagai berikut :

2111  -حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوسُفَ ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : الْمُتَبَايِعَانِ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ عَلَى صَاحِبِهِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا إِلاَّ بَيْعَ الْخِيَارِ.(أخرجه البخارى ومسلم)[3]

Hadist dari Abdullah bin Yusuf, beliau mendapatkan hadist dari Malik dan beliau mendapatkan Hadist dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar Rodliyallohu ‘anhuma. Sesungguhnya Rosulalloh Sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda : “Dua orang yang jual beli, masing-masing dari keduanya boleh melakukan khiyar atas lainnya selama keduanya belum berpisah kecuali jual beli khiyar.” (HR Bukhori dan Muslim).

  1. Penjelasan Akad dan Aplikasi Fiqhnya
  2. Pengertian Akad

Pengertian akad dalam Kamus Besar bahasa Indonesia adalah janji,perjanjian,kontrak.[4] Akad secara bahasa adalah  ikatan,mengikat. Dikatakan ikatan (al rabth) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali  dan mengikatkan salah satunya  pada yang lainnya  hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu. [5]  Sebagaimana  pengertian akad adalah perjanjian, istilah yang berhubungan dengan perjanjian  di dalam Al Qur’an  setidaknya ada 2 istilah yaitu  al ‘aqdu (akad) dan  al ‘ahdu  (janji).[6] Istilah al ‘ aqdu terdapat dalam Surat Al Maidah ayat 1 , bahwa dalam ayat ini ada kata  bil’uqud dimana terbentuk dari  hurf jar ba dan kata  al ‘uqud atau bentuk jamak taksir dari kata al‘aqdu oleh team penerjemah  Departemen Agama RI di artikan perjanjian (akad).[7]

Sedangkan kata al ‘ahdu  terdapat dalam Surat Ali Imron ayat 76 , bahwa dalam ayat ini  ada kata bi’ahdihi dimana terbentuk dari huruf jar bi, kata al’ahdi dan hi yakni dhomir atau kata ganti dalam hal ini yang kita bahas kata al ‘ahdi oleh Team penerjamah departemen Agama RI di artikan janji.[8] Menurut Fathurrahman Djamil, istilah  al ‘aqdu ini dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUHPerdata.[9] Sedangkan istilah al ‘ahdu  bisa disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain.[10]

Kesepakatan Ahli Hukum Islam (Jumhur Ulama) mendefinisikan akad  adalah suatu perikatan antara ijab dan qobul dengan cara yang di benarkan syar’i yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya.[11] Menurut Abdurrauf,  al ‘aqdu (Perikatan  Islam) bisa terjadi dengan melalui  tiga tahap, yaitu :

  1. Tahap Pertama : Al ’ahdu  (perjanjian) yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu dan tidak   untuk melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya  dengan kemauan orang lain. Syarat sahnya suatu  al ‘ahdu (perjanjian)  adalah :
    1. Tidak menyalahi hukum syari’ah yang di sepakati adanya.

Maksudnya bahwa perjanjian yang diadakan oleh para pihak itu bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang melawan hukum syari’ah, sebab perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum syari’ah adalah tidak sah, dan dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak untuk menempati atau melaksanakan perjanjian tersebut, atau dengan perkataan lain apabila isi perjanjian itu merupakan perbuatan yang melawan hukum syari’ah , maka perjanjian yang diadakan dengan sendirinya batal demi hukum.

Dasar Hukum tentang kebatalan suatu perjanjian  yang melawan hukum ini dapat di rujuki ketentuan hukum  yang terdapat dalam hadist Rosululloh SAW hadist dari Jabir bin Abdullah Rhodliyallohu ‘anhuma dalam kitab Syurutuhum Bainahum yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhori.

وَقَالَ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فِي الْمُكَاتَبِ شُرُوطُهُمْ بَيْنَهُمْ. وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ ، أَوْ عُمَرُ كُلُّ شَرْطٍ خَالَفَ كِتَابَ اللهِ فَهْوَ بَاطِلٌ وَإِنِ اشْتَرَطَ مِئَةَ شَرْطٍ.[12]

“Segala bentuk persyaratan yang tidak ada dalam Kitab Allah ( Hukum Allah) adalah batal, sekalipun sejuta syarat” (HR Bukhori )”

  1. Harus sama ridho dan ada pilihan

Maksudnya akad yang di adakan oleh para pihak haruslah di dasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak, yaitu masing-masing pihak ridho/rela akan isi akad tersebut, atau dengan perkataan lain harus merupakan kehendak bebas masing-masing pihak. Dalam hal ini berarti tidak boleh ada paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain, dengan sendirinya akad yang  diadakan tidak tidak didasarkan kepada mengadakan perjanjian.

  1. Harus Jelas dan Gamblang

Maksudnya apa yang diperjanjikan oleh para pihak harus terang tentang apa yang menjadi isi akad, sehingga tidak mengakibatkan terjadinya  kesalahpahaman di antara para pihak tentang apa yang telah mereka perjanjikan di kemudian hari.[13]

  1. Tahap Kedua : Persetujuan pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama. Perjanjian tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama.
  2. Tahap Ketiga : Al ‘aqdu (akad/perikatan Islam) yaitu pelaksanaan dua buah janji tersebut.[14]

Terjadinya suatu perikatan Islam (al ‘aqdu) ini tidak terlalu jauh berbeda dengan terjadinya perikatan yang di  dasarkan dengan Buku III KUH Perdata, Yang mana definisi Hukum Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.[15]

Sedangkan Pengertian Perjanjian adalah  suatu persetujuan  adalah suatu perbuatan dengan nama satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.[16] Perbedaan antara perikatan Islam (Akad) dengan Perikatan KUHPerdata adalah dalam tahapan perjanjiannya dimana  dalam hukum Perikatan Islam (Akad) janji Pihak Pertama dan Pihak Kedua terpisah atau dua tahap sedangkan dalam KUH Perdata hanya satu tahap  setelah ada perjanjian maka timbul perikatan.

Perbedaan antara perikatan Islam (Akad) dengan Perikatan KUHPerdata adalah dalam tahapan perjanjiannya dimana  dalam hukum Perikatan Islam (Akad) janji Pihak Pertama dan Pihak Kedua terpisah atau dua tahap sedangkan dalam KUHPerdata hanya satu tahap  setelah ada perjanjian maka timbul perikatan.

  1. Unsur-Unsur Akad

Definisi    Akad menurut jumhur ulama bahwa akad  adalah suatu perikatan antara  ijab dan  qobul dengan cara yang di benarkan syar’i yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum  pada obyeknya dapat diperoleh tiga unsur yang terkandung dalam akad, yaitu sebagai berikut :

  1. Pertalian Ijab dan Qobul
    1. Ijab adalah pernyataan kehendak oleh satu pihak  (mujib) untuk melakukan sesuatu  atau tidak melakukan sesuatu.
    2. Qobul adalah pernyataan menerima atau menyetujui kehendak mujib tersebut oleh pihak lainnya (qobil). Ijab dan  Qobul  ini harus ada dalam melaksanakan suatu perikatan (akad)
    3. Dibenarkan oleh syara’

Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syari’ah atau hal-hal yang diatur oleh Allah SWT dalam Al Qur’an dan Nabi Muhammad SAW dalam Al Hadist. Pelaksanaan akad, tujuan akad,maupun obyek akad tidak boleh bertentangan dengan syari’ah. Jika bertentangan,akan  mengakibatkan akad itu tidak sah. Sebagai contoh suatu perikatan(akad) yang mengandung riba atau obyek perikatan yang  tidak halal (seperti minuman keras ) mengakibatkan tidak sahnya suatu perikatan menurut Hukum Islam.

  1. Mempunyai akibat hukum terhadap obyeknya.

Akad merupakan  salah satu dari tindakan hukum (tasharruf). Adanya akad menimbulkan  akibat hukum terhadap obyek hukum yang diperjanjikan oleh para pihak dan juga memberikan konsekuensi  hak dan kewajiban yang mengikat para pihak.[17]

  1. Syarat –Syarat Akad

Definisi syarat adalah ketentuan (peraturan,petunjuk) yang harus di indahkan dan dilakukan.[18] Dalam syari’ah Islam syarat di definisikan adalah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada.[19]

Adapun  syarat akad ada yang menyangkut  rukun akad, ada yang menyangkut obyek akad, dan ada yang menyangkut subyek akad.[20] Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, suatu akad terbentuk dengan adanya empat komponen yang harus di penuhi (syarat), yaitu :

  1. Dua aqid yang di namakan  Tharafyil  aqdi atau  aqidain sebagai subyek perikatan/para pihak (the contracting parties).
  2. Mahallul aqdi (ma’qud alaih) , yaitu sesuatu yang di akadkan sebagai obyek perikatan  ( the object matter ).
  3. Maudhu’ al-Aqdi (ghayatul akad) yaitu cara maksud yang dituju sebagai prestasi yang dilakukan (the subject matter)
  4. Shighat al-aqd sebagai rukun akad (a formation).[21]
  1. Subyek Akad ( Al ‘Aqidain)

Subyek Akad (aqid) dalam  Hukum  Perikatan Islam adalah sama dengan subyek hukum pada umumnya yaitu pribadi-pribadi yang padanya terdapat ketentuan berupa : pembebanan kewajiban dan perolehan hak.[22] Subyek Hukum ini terdiri dari dua macam  yaitu manusia dan badan hukum kaitannya dengan ketentuan dalam hukum  Islam.[23]

Pada kehidupan seseorang, ada tahapan untuk dapat melihat apakah seseorang telah dapat dibebani hukum. .Dalam Hukum Islam,kapasitas hukum seseorang dapat dilihat dari tahapan – tahapan dalam kehidupannya (the stages of legal capacity).Menurut Abdurrahman Raden Aji Haqqi, para ahli Ushul Fiqih telah membagi kapasitas hukum seseorang  ke dalam 4 ( empat ) tahap Subjek Hukum          (Stages of Legal Capacity ).[24] Adapun ke-empat tahap itu adalah : Marhalah al-Janin, Marhalah al-Saba, Marhalah al-Tamyiz, dan Marhalah al-Bulugh.dan juga Daur al- Rushd.

Di antara fuqaha (ahli hukum Islam) telah merumuskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang sebagai  aqid yaitu : Aqil, Tamyiz, dan Muhktar.

  1. Obyek Akad (Mahallul ‘Aqdi)

Mahalllul ‘aqdi adalah benda yang berlaku padanya  hukum akad, atau disebut juga sebagian sesuatu yang menjadi objek perikatan dalam istilah  Hukum Perdata. Misalnya benda-benda yang dijual dalam akad jual beli (al buyu’/bai) atau hutang yang dijamin seseorang dalam akad. Dalam hal ini hanya benda-benda yang halal dan bersih (dari najis dan maksiat) yang boleh menjadi objek perikatan. Sehingga menurut fikih jual beli  buku – buku ilmu sihir, anjing , babi dan macan bahkan alat-alat musik (alat malahy) adalah tidak sah. Adapun syarat – syarat objek akad, yaitu : Halal menurut Syara’, Bermanfaat ( bukan merusak atau digunakan untuk merusak), dimiliki sendiri atau atas kuasa si pemilik, Dapat diserah terimakan (berada dalam kekuasaan), dan Dengan harga jelas.[25]

  1. Prestasi  Akad (Maudhu’u al-‘Aqdi)

Maudhu’u al- Aqdi ialah tujuan akad atau maksud pokok mengadakan akad atau dalam istilah hukum perikatan disebut  Prestasi  . Tujuan ini sesuai dengan jenis akadnya,seperti: tujuan dalam jual beli ( buyu’/bai’) ialah menyerahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan ganti/bayaran  (iwadh), dalam hibah ialah menyerahkan barang kepada penerima hibah (Mauhub) tanpa ganti ( iwadh ) dan pada akad sewa ( Ijarah ) ialah memberikan manfaat dengan ganti (iwadh).

Dalam KUHPerdata hal ini merupakan  suatu prestasi (hal yang dapat dituntut oleh satu pihak kepada pihak lainnya ),yang dirumuskan dengan menyerahkan barang,melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Syarat-syarat dari tujuan akad atau prestasi,yaitu: Baru ada pada saat dilaksanakan akad, Berlangsung adanya hingga berakhirnya akad, dan Tujuan akad harus dibenarkan syara.

  1. Rukun Akad

Rukun akad adalah  Ijab dan  Qobul ( serah terima).Ijab dan Qobul dinamakan  shihgatul ‘aqdi atau perkataan yang menunjukkan kepada kehendak kedua belah pihak. Shighatul aqdi ini memerlukan empat syarat : Jala’ul Ma’na, Tawafuq, Jazmul Iradataini, dan Ittishal al-kabul bil-ijab.

  1. Jenis-Jenis Akad

Dalam Kitab-Kitab  Fiqh terdapat banyak bentuk akad yang kemudian dapat dikelompokkan dalam berbagai variasi jenis-jenis akad. Mengenai pengelompokan jenis-jenis akad ini pun terdapat banyak variasi penggolongannya. Namun yang berkaitan dengan kegiatan  perbankan dan perasuransian syariah, menurut Gemala Dewi secara garis besar ada pengelompokan jenis-jenis akad  yaitu : Pertukaran, Titipan, Syarikat, Memberi kepercayaan, Memberi Izin atau Tugas Kerja, Penyelesaian Sengketa, dan Perlidungan atas Hak.

  1. Bentuk-Bentuk Akad

Mengenai bentuk-bentuk akad yang dikenal sejak awal penerapan Hukum Islam di zaman Nabi Muhammad, para ahli hukum  Islam telah  menuangkannya ke dalam kitab-kitab fiqh. Tidak terdapat kesamaan dalam  pengelompokannya dari para ahli hukum  Islam tersebut dalam  mengklarifikasi bentuk-bentuk akad ke dalam suatu kelompok. Masing-masing literatur menggunakan kriteria tersendiri dalam menggolongkan berbagai macam bentuk akad tersebut ke dalam satu  kelompok tertentu.

Jumlah  bentuk perikatan (akad) pada masing-masing literaturpun berbeda-beda, dalam rentang antara 12 sampai 38 macam. Abdurrahman Raden Aji haqqi, menggelompokkan ke 38 bentuk akad. Dari ke 38 bentuk akad tersebut dapat kita kelompokkan seperti pada penjelasan sub  bab jenis-jenis akad di atas tadi. Mengenai masing-masing bentuk akad yang di kenal dalam kita-kitab fiqh tersebut dapat dilihat penjabarannya di bawah ini.

Bentuk-Bentuk Akad Yang di kenal dalam Fiqh yaitu : Jual Beli, Mudharabah, Al-Ijarah, Syirkah, Hiwalah, Asy-Syuf’ah, Rahn atau gadai, ‘Ariyah, Ji’alah, Shulhu, Luqathah, Hibah, Sedekah (Shadaqah) dan Hadiah.

Ketika kita baca dalam keterangan di atas ternyata banyak sekali dalam akad Mualah, dalam Islam yang sesuai dengan Syara’. Maka Di dalam Hadist di atas penulis jelaskan bahwa hadist diatas sebagai dasar para Fuqoha yang menyaratkan Khiyar majelis yang dijadikan dasar dalam berhujjah, ini masalah perselisihan pendapat tentang waktu terjadinya ikatan Jual Beli.

Menurut Maliki, Abu Hanifah, dan para pengikut keduannya serta golongan Fuqoha Madinah, ikatan jual beli terjadi dalam Majelis walaupun kedua belah pihak belum terpisah. Sedang Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Ibnu Umar dari kalangan sahabat mengatakan bahwa jual beli terjadi (sudah mengikat) dengan terjadinya pepisahan dari majelis jika keduanya belum berpisah, maka jual beli tidak terjadi dan tidak mengikat.[26]

Pendapat seperti ini juga dikemukakan oleh Ibu Abi Dzi’b dari golongan Fuqoha Madinah, Suwar al-Qadhi, Ibnu Mubarok, Syuraih al-Qadhi, segolongan tabiiin, dan lainnya. Pendapat tersebut juga diriwayatkan Ibnu Umar R.A dan Abu Barzah al-Aslami r.a dari kalangan sehabat tanpa ada sahabat yang menentangnya.

Dalam Hadist di atas juga ada hadits yang lain yaitu :

Kecuali salah seorang di antara keduanya berkata kepada temannya, pilihlah”.

Fuqoha yang berbeda pendapat, mengemukakan alasan pendapat yang kacau dalam menolak pengunaan hadist di atas. Dalam menolak hadist tersebut imam Malik berdasar pada alasan, bahwa ia tidak menemukan penduduk madinah melakukan Khiyar Majelis. Dan juga beliau berpendapat bahwa hadits tersebut bertentangan dengan Hadist Munqoti’ yang diriwayatkannya dari Ibnu Mas’ud ia berkata :

أيما بيعين تبايعا فالقول ما قال البائع أو يترادان[27]( أخرجه الدالمى)

“Siapa saja dua orang yang berjual beli, maka yang menjadi pegangan adalah perkataan penjual atau saling mengembalikan”(HR. Dailami)

Dari sini bisa dipahami bahwa seolah-olah malik mengartikan hadist tersebut kepada umumnya dan ini mengharuskan adanya jual beli pada majelis atau sesudahnya. Hadist ini muqothi’ dan tidak bisa menentang hadist pertama. Apabila pertentangan tersebut hanya berdasarkan perkiraan akan adanya keumuman pada hadist munqothi’ tersebut. Yang lebih baik adalah jika hadist terakhir munqothi’ ini ditegaskan atas hadist pertama. Sepengetahuan saya hadist terakhir ini tidak pernah diriwayatkan oleh seseorang dengan musnad (yakni disandarkan kepada Nabi saw.). begitulah pegangan Malik dalam meninggalkan Hadist tersebut.

Dalam menolak hadist Khiyar ini, para pengikut Malik berpegangan pada lahiriah dalil-dalil sam’iyat dan qiyas. Dan diantara dalail lahir yang paling jelas dalam masalah ini ialah firman Allah Surat Al-Maidah ayat petama.

يأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ (1) [المائدة : 1]

  1. Kasus Akad Bisnis Onlene

Dalam hal ini bahwa ketika saya melihat beberapa uraian di atas penulis menangapi kasus akad Bisni Onlene ini,sangatlah perlu diketahui dulu bagaimana cara yang telah dilakukan dalam Akad ini. Kalau Akad ini tidak bertentanganan dengan Syara’ maka ya Boleh saja, yang penting sesuai dengan syara’ dalam jual belia atau akad tersebut.

PENUTUP

  1. KESIMPULAN

Tidak bertolak dari perumusan masalah dan uraian di atas, maka dalam tulisan makalah ini dapat ditarik beberapa simpulan, sebagai berikut :

  1. Prinsip  musyarakah sangat baik untuk dikembangakan dan juga diamalkan.
  2. Prinsip  musyarakah merupakah salah satu muamalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip islam.
  1. SARAN

Menilik   pada   simpulan   seperti sijelaskan di atas, maka dalam penelitian tesis ini disarankan, sebagai berikut:

  1. Prinsip  musyarakah  merupakan  pembiayaan terbaik   dalam   bank   syariah,   adalah   sebagai   medote   pembiayaan   yang didasarkan  pada  keikutsertaan  bank  bersama-sama  dengan  nasabah  untuk suatu  proyek  tertentu  dalam  menghasilkan  laba  atau  rugi.  Oleh  karena  itu disarankan  kepada  Bank  Syariah  pada  umumnya,  kiranya  pembiayaan    dengan  prinsip musyarakah  dapat  terus  ditingkatkan  penggunaanya  oleh  masyarakat  seperti pembiayaan-pembiayaan yang lainnya, yaitu: qardh, murabahah, dan mudharabah.
  2. Perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat atas keberadaan Bank Syariah umumnya  yang  mengimplementasikan  produk pembiayaan  dengan prinsip musyarakah yang didukung oleh  sumber daya manusia (SDM) yang profisional.
  3. Pengambilan    langkah-langkah    sebagai    solusi    dalam    mengembangkan penggunaan   produk   pembiayaan   dengan   prinsip   musyarakah, disarankan  perlu  terus  dilakukan,  tetapi  hendaknya  berdasarkan  ketentuan syariah.

 


[1] Arifin Hamid. Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia. hlm: 66-67

[2] http://konsultasimuamalat.MI Sigit Pramono.wordpress.com.20 Maret 2009

[3] ٍShohih Al Bukhori, (Program Maktabah As Samilah Edisi II) Jilid 3, hlm. 84, lihat juga dalam Kitab Bidayatul Mujtahid, Jilid 2 Hlm. 798

[4] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, Cetakan Pertama Edisi III, 2001), hal 18

[5] Ghufron A.Mas’adi,Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cetakan Pertama, 2002), hal 75

[6] Gemala Dewi,Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, Edisi pertama,Cetakan Pertama,2005) hal 45

[7] Departemen Agama RI, Al qur’anul Karim wa tarjamah maaniyah ilal lughoh alIndonesiyyah,

(Al Madinah Al Munawwarah : Mujamma’  al Malik Fahd li thiba’at al Mushaf asy Syarif, 1418 H ) ,hlm 156

[8] Departemen Agama RI, Al qur’anul Karim wa tarjamah maaniyah ilal lughoh alIndonesiyyah, (Al Madinah Al Munawwarah : Mujamma’   al Malik Fahd li thiba’at al Mushaf asy Syarif, 1418 H ) ,hlm.88.

[9] Fathurrahman Djamil, HukumPerjanjian Syariah dalam Kompilasi HukumPerikatan oleh

Mariam Darus Badrulzaman, (Bandung : Citra Aditya Bakti, Cetakan Pertama,2001), hlm 75

[10] Fathurrahman Djamil, HukumPerjanjian Syariah dalam Kompilasi HukumPerikatan oleh

Mariam Darus Badrulzaman, (Bandung : Citra Aditya Bakti, Cetakan Pertama,2001), hlm. 248

[11] Ahmad Azhar Basyir, Asas-AsasHukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta : UII

Press, Edisi Revisi, 2000),hlm. 65

[12] Hasabu Tarqimul Fathul Al Barrii, Shohih Bukhori. (Program Maktabah As-Samilah fersi II) Jilid 3 hlm. 259

[13] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta:Sinar Grafika,Cetakan Ketiga, 2004), hal 2-3

[14] Abdoerraoef, Al Qur’an dan Ilmu Hukum : Comparative Study, (Jakarta: Bulan Bintang,1970),hlm. 122-123

[15] Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan(Hukum yang lahir dari Perjanjian dan dari

Undang-Undang, (Bandung : Mandar Maju, Cetakan Pertama, 1994), hlm. 2

[16] Purwahid Patrik, …………………………… hlm. 45.

[17] Ghufron A.Mas’adi,Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cetakan Pertama, 2002) hal 76-77

[18] Departemen Pendidikan Nasional, ………………………… ., hlm 1114

[19] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam,Jilid 5, ( Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve,1996), hlm. 1510

[20] Ahmad Azhar Basyir, ……………………………..  ,hlm 77-78

[21] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fikih Muamalah, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1974), hlm.

23

[22] Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Perasuransian Syariah di Indonesia,

(Jakarta :Prenada Media :2004), hlm 15.

[23] Gemala Dewi, Widyaningsih, Yeni Salma Barlinti, ……………………………………………..  , hlm 51

[24] AdeArmando,dkk, Ensklopedi Islam untuk Pelajar, ( Jakarta :PT Ichtiar Baru Van Hoeve, tanpa tahun), hlm 77

[25] Gemala Dewi, ……………………………………………………………………… ,hlm.17

[26] Oleh karena itu Ibu Umar r.a jika punya keinginan memutuskan transaksi jual beli, setelah ijab dan qobul, ia segera keluar majelis agar transaksi memenuhi syarat.

[27] Al Maudho’ Riwayat Yahya Al Laisii, (Program Maktabah As Samilah Versi II) Jilid 2, hlm. 671